MEMBAHAS TENTANG MASALAH STUNTING DI INDONESIA
Disusun Oleh : Imam Syafe'i
ABSTRAK
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek. Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal serta produktivitas rendah. Tingginya prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi bagi Indonesia. Penyebab dari stunting adalah rendahnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak janin hingga bayi umur dua tahun. Selain itu, buruknya fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan juga menjadi penyebab stunting. Metode penelitian yang digunakan adalah menghitung Panjang badan lahir adalah panjang badan ketika bayi baru lahir yang didapat dari data. Stunting masih menjadi permasalahan kesehatan yang harus segera dientaskan. Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya Stunting di Indonesia yaitu, kondisi kesehatan dan gizi ibu, Situasi bayi dan balita, dan Situasi sosial ekonomi dan lingkungan
Kata kunci:balita,stunting, penyebab di Indonesia
ABSTRAC
Stunting is a chronic malnutrition problem characterized by short stature. Stunting sufferers are generally susceptible to disease, have a below normal level of intelligence and low productivity. The high prevalence of stunting in the long term will have an impact on economic losses for Indonesia. The cause of stunting is low nutritional intake in the first 1,000 days of life, from fetus to baby aged two years. In addition, poor sanitation facilities, lack of access to clean water, and lack of environmental hygiene are also causes of stunting. The research method used is to calculate the length of the birth body is the length of the body when a newborn is obtained from the data. Stunting is still a health problem that must be eradicated immediately. There are 3 factors that cause stunting in Indonesia, namely, the condition of maternal health and nutrition, the situation of infants and toddlers, and the socio-economic and environmental situation
Keywords: toddlers, stunting, problem in Indonesi
PENDAHULUAN
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek. Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal serta produktivitas rendah. Tingginya prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi bagi Indonesia. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional
Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.Untuk menekan angka tersebut, masyarakat perlu memahami faktor apa saja yang menyebabkan stunting. Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir
Penyebab dari stunting adalah rendahnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak janin hingga bayi umur dua tahun. Selain itu, buruknya fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan juga menjadi penyebab stunting. Kondisi kebersihan yang kurang terjaga membuat tubuh harus secara ekstra melawan sumber penyakit sehingga menghambat penyerapan gizi.Penyebab lainnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak
Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.Panjang badan lahir pendek pada anak menunjukkan kurangnya zat gizi yang diasup Ibu selama masa kehamilan, sehingga pertumbuhan janin tidak optimal yang mengakibatkan bayi yang lahir memiliki panjang badan lahir pendek. Panjang badan lahir berkaitan erat dengan tinggi badan orang tua, ibu dengan tinggi badan pendek lebih berpeluang utntuk melahirkan anak yang pendek pula. Penelitian di Mesir menunjukkan bahwa anak yang lahir dari Ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm lebih berisiko untuk tumbuh stunting, penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan Ibu dan ayah yang pendek merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 12-36 bulan.Stunting dapat dicegah, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan gizi bagi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan kemudian dilanjutkan dengan MPASI. Orang tua juga diharapkan membawa balitanya secara rutin ke Posyandu, memenuhi kebutuhan air bersih, meningkatkan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah menghitung Panjang badan lahir adalah panjang badan ketika bayi baru lahir yang didapat dari data, kemudian data yang didapat dikonversi kedalam bentuk nilai indeks z-score TB/U dimana bila hasilnya ≤-2 SD maka dikategorikan panjang badan lahir pendek, dan bila hasilnya >-2SD dikategorikan panjang badan lahir tidak pendek.14 Tinggi badan orang tua adalah hasil ukur antropometri dilihat dari tinggi badan ibu dan ayah subjek yang diukur dengan alat microtoise dengan ketelitian 0,1 cm, kemudian data dikategorikan sesuai penelitian sebelumnya. Ibu dikategorikan pendek jika tinggi badan ≤150 cm dan tidak pendek jika >150 cm, sedangkan ayah dikategorikan pendek jika tinggi badan ≤162cm dan tidak pendek jika >162cm
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali. Terdapat banyak factor yang mempengaruhi terjadinya Stunting di Indonesia daintaranya yaituKondisi kesehatan dan gizi sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting. menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan berumur 15-49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di atas 20 tahun (usia ideal kehamilan). Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia 17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia mengalami kehamilan pertama pada usia muda atau remaja. Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi badan) dan gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting
Situasi Bayi dan Balita
Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan. Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh (97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12 provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat belum mengumpulkan data
Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua (15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan. Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan. Untuk memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan yaitu biskuit MT balita. Jika berat badan telah sesuai dengan perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka MT balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang
Situasi Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga berkaitan dengan terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi. Berdasarkan data Joint Child Malnutrition Estimates tahun 2018, negara dengan pendapatan menengah ke atas mampu menurunkan angka stunting hingga 64%, sedangkan pada negara menengah ke bawah hanya menurunkan sekitar 24% dari tahun 2000 hingga 2017. Pada negara dengan pendapatan rendah justru mengalami peningkatan pada tahun 2017
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh higiene dan sanitasi yang buruk (misalnya diare dan kecacingan) dapat menganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan. Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi turun. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai dengan pemberian asupan yang cukup untuk proses penyembuhan maka dapat mengakibatkan stunting. Pada tahun 2017, 72,04% rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap sumber air minum layak. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Bali (90,85%), sedangkan persentase terendah adalah Bengkulu (43,83%). Masih terdapat 20 provinsi yang di bawah persentase nasional. Sumber air minum layak yang dimaksud adalah air minum yang terlindung meliputi air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan (PAH) atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau pompa, yang jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran, penampungan limbah, dan pembuangan sampah. Tidak termasuk air kemasan, air dari penjual keliling, air yang dijual melalui tangki, air sumur dan mata air tidak terlindung. Rumah tangga yang memiliki sanitasi layak menurut Susenas adalah apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan, antara lain dilengkapi dengan jenis kloset leher angsa atau plengsengan dengan tutup dan memiliki tempat pembuangan akhir tinja tangki (septic tank) atau Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL), dan merupakan fasilitas buang air besar yang digunakan sendiri atau bersama. Persentase rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak di Indonesia tahun 2017 adalah 67,89%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah DKI Jakarta (91,13%), sedangkan persentase terendah adalah Papua (33,06%)
Dampak Stunting
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak Jangka Pendek yaitu dapat membuatan Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian, Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan Peningkatan biaya kesehatan. Dampak Jangka Panjang, Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya); Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya; Menurunnya kesehatan reproduksi; Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah; dan Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal
KESIMPULAN
Kesimpulan dalam penulisan ini yaitu stunting masih menjadi permasalahan kesehatan yang harus segera dientaskan. Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya Stunting di Indonesia yaitu, kondisi kesehatan dan gizi ibu, Situasi bayi dan balita, dan Situasi sosial ekonomi dan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2018. 1 Dari 3 Balita Indonesia Derita Stunting
Kemenkes. 2021. Penyebab Stunting Pada Anak
Kemenkes. 2019. Pencegahan Stunting Pada Anak
Kukuh, Eka. 2013. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-3 Tahun (Studi di Kecamatan Semarang Timur). Univeristas Diponegoro.
----- CATATAN EDITOR -----
Bagaimana pendapat kamu tentang tulisan ini?
Kalo ada diantara kamu yang mau ngobrol atau diskusi
dengan Imam terkait topik ini,
silahkan tinggalkan komentar dibawah artikel ini ya.
-------------------------------------
Author: Imam Syafe'i

Komentar
Posting Komentar